Makanan Saja Tidak Akan Menyelamatkan Penduduk Gaza yang Kelaparan

Redaksi
Jumat, 15 Agustus 2025
Last Updated 2025-08-15T15:46:10Z
masukkan script iklan disini
Jakarta, jds.my.id _Sejak agresi terhadap Gaza yang dimulai pada Oktober 2023 lalu, Israel telah memberlakukan kelaparan buatan terhadap penduduk wilayah tersebut. Kampanye ini meningkat drastis setelah Maret 2025 ketika pendudukan Zionis menerapkan pembatasan yang lebih ketat terhadap bantuan yang sudah sangat minim masuk ke Gaza

Sejak itu, ratusan pria, wanita, dan anak-anak meninggal karena malnutrisi parah. Para dokter bertahan hidup hanya dengan remah roti dan minyak setiap hari, bahkan sering terpaksa menggunakan air laut untuk mendapatkan elektrolit yang sangat dibutuhkan. Jurnalis menjadi terlalu lemah untuk bekerja, dan para pria terlalu rapuh untuk mengambil risiko di lokasi distribusi bantuan GHF. Penduduk kini tampak seperti kulit yang membalut tulang.

Malnutrisi parah seperti ini sayangnya telah berulang kali terjadi dalam sejarah, dan dampaknya pada tubuh manusia sudah terdokumentasi dengan baik. Sistem tubuh mati satu per satu, korban diliputi kelelahan, dan tubuh mulai memakan dirinya sendiri hingga kematian tiba.

Kisah mengerikan dari Uni Soviet antara tahun 1920 hingga 1940 menggambarkan hal yang sama. Penampil di panggung roboh di tengah pertunjukan dan meninggal di tempat. Orang-orang ambruk di jalan seolah tertidur. Keputusasaan mencapai titik ekstrem hingga catatan pengadilan menceritakan seorang ibu yang memotong-motong suaminya yang pingsan — mengira ia sudah meninggal — untuk memberi makan anak-anak mereka.

Namun, yang sering diabaikan adalah bahwa pemulihan dari kelaparan bisa sama mematikannya. 


Ironisnya, salah satu catatan paling awal fenomena ini berasal dari pengepungan Yerusalem pada tahun 70 Masehi. Selama lima bulan, di bawah komando Titus, putra Kaisar Vespasian, pasukan Romawi memutus semua bantuan ke kota suci Yahudi tersebut. 


Sama seperti warga Gaza sekarang, penduduk Yerusalem waktu itu kurus kering, penuh penyakit, dan terpaksa memakan kulit hewan. Setelah gerbang kota ditembus dan Yerusalem jatuh, Flavius Yosefus — seorang komandan Yahudi yang berpihak ke Romawi — melaporkan bahwa banyak penyintas meninggal segera setelah makan. Warga yang kelaparan melahap makanan hingga muntah, dan banyak yang meninggal dalam hitungan jam.

Pasca Perang Dunia II, kisah serupa muncul dari para tawanan perang Jepang. Tentara yang kelaparan dibebaskan dari kamp di Filipina, Nugini, dan tempat lain, langsung melahap makanan berkalori tinggi yang diberikan oleh para pembebas mereka. Sekitar satu dari lima tawanan meninggal akibat proses makan kembali ini. Pemeriksaan medis menemukan organ-organ mengecil, gagal jantung, dan komplikasi parah lainnya. Observasi serupa berulang kali dilaporkan pada populasi sipil yang kelaparan pasca bantuan pangan, pasien pasca operasi, penderita anoreksia nervosa, dan pecandu alkohol kronis.

Fenomena ini kini dikenal sebagai sindrom refeeding — suatu pergeseran metabolisme yang sangat cepat dari kondisi katabolik (pemecahan) ke anabolik (pembentukan). Dalam kelaparan, tubuh menekan insulin dan bergantung pada pemecahan otot dan lemak, menguras ion-ion penting di dalam sel. Saat makan kembali dimulai, insulin melonjak, membuat glukosa dan elektrolit masuk ke sel. Pergeseran mendadak ini menurunkan kadar fosfat, kalium, dan magnesium di darah. Insulin juga menyebabkan retensi natrium dan air di aliran darah, memicu kelebihan cairan. Jika tidak diobati, perubahan ini dapat merusak jantung, paru-paru, saraf, dan darah secara fatal, menyebabkan aritmia, gagal napas, dan kematian.

Penting untuk digarisbawahi bahwa sindrom refeeding bukan sekadar “terlalu banyak kalori terlalu cepat”, melainkan guncangan metabolik. Mengatur porsi makan saja tidak cukup. Pasien memerlukan penanganan medis yang terencana, dimulai dengan suplementasi elektrolit dan vitamin sebelum makan dimulai. Tim multidisiplin yang terampil serta pemeriksaan laboratorium rutin sangat penting untuk memastikan pemulihan berjalan aman. Apoteker, psikiater, teknisi lab, dan tenaga medis lainnya harus bekerja sama untuk memulihkan penderita malnutrisi.

Dalam konteks genosida di Gaza, membayangkan perawatan semacam itu terasa memilukan. Infrastruktur medis di sana telah runtuh. Dokter hanya menangani kasus darurat. Obat bius hampir habis, dan cuka — jika ada — digunakan untuk membersihkan luka. Anggota tubuh anak-anak diamputasi saat mereka sadar penuh dan merasakan sakit. Ini sama sekali bukan sistem yang mampu merehabilitasi dua juta penduduk yang kelaparan. Israel dengan sengaja memastikan hal ini dengan memblokade pasokan medis dan menyerang tenaga kesehatan, ambulans, serta rumah sakit.

Tragisnya, kita tidak bisa berharap orang yang kelaparan mampu mengontrol pola makannya sendiri saat makanan tersedia. Rasa lapar mengacaukan pikiran, membuat seseorang terobsesi pada makanan. Pikiran “ini mungkin satu-satunya kesempatan makan, jadi makan sebanyak mungkin” menjadi tak tertahankan. Dalam tindak lanjut eksperimen kelaparan Ancel Keys, tercatat bahwa beberapa peserta yang pulih justru memilih bekerja di bidang makanan dan restoran. Kenyataannya, orang yang kelaparan parah tidak dapat diharapkan mengatur makannya sendiri begitu makanan ada.

Karena itu, sangat penting untuk menuntut tekanan internasional terhadap Israel agar segera mengizinkan masuknya peralatan medis, fasilitas laboratorium, dan tim spesialis ke Gaza. Yang paling penting, mereka harus berhenti menargetkan tenaga kesehatan dan fasilitas medis.

Hal ini hampir sama pentingnya dengan masuknya bantuan pangan itu sendiri. Pemerintah Barat memiliki berbagai cara untuk memaksa Israel menghentikan agresi genosida dan mengizinkan bantuan kemanusiaan serta medis, tetapi mereka memilih untuk tidak melakukannya. Mereka ikut bertanggung jawab atas salah satu genosida paling mengerikan di era modern.

Warga dunia harus menekan pemerintah mereka untuk bertindak. Kita harus ingat bahwa tanpa infrastruktur medis yang menyertai bantuan, ribuan orang kemungkinan akan meninggal karena sindrom refeeding. []
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Iklan